Cara Saya Menghasilkan Uang di Era Digital: Dari Blog, Microstock, hingga YouTube

Daftar Isi


Di zaman sekarang, hampir semua hal bisa dilakukan secara online. Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat peluang terbuka begitu lebar bagi siapa pun untuk bisa mendapatkan penghasilan, bahkan dari rumah.

Namun, perlu dicatat: hanya karena peluang terbuka lebar, bukan berarti semuanya bisa dilakukan dengan asal-asalan dan langsung menghasilkan uang dalam sekejap. Justru sebaliknya. Tantangan baru terus bermunculan dan membuat persaingan semakin ketat.

Saya pribadi sudah melalui berbagai fase dalam dunia digital. Mulai dari menulis blog, menjajal microstock, hingga akhirnya membangun kanal YouTube. Semuanya butuh proses, komitmen, dan tentu saja… kegigihan.

Perubahan Ekosistem Digital: Dari Mudah Menjadi Menantang

Mari kita mundur sejenak ke sekitar tahun 2010 atau bahkan sebelumnya. Pada masa itu, blogging adalah salah satu cara termudah dan paling menjanjikan untuk menghasilkan uang secara online.

Saat itu, hampir semua orang yang memiliki minat menulis bisa menciptakan blog dan mengisinya dengan opini, informasi, hingga pengalaman pribadi. Google belum terlalu selektif seperti sekarang. Bahkan blog gratisan tanpa domain .com pun bisa tampil di halaman pertama hasil pencarian.

Saya masih ingat betul, saat saya mencari informasi di Google pada waktu itu, saya menemukan banyak blog sederhana yang sangat informatif. Persaingan rendah, pembaca banyak, dan peluang monetisasi melalui Google AdSense pun cukup besar.

Tapi sekarang?

Kondisinya jauh berbeda. Persaingan dalam dunia blogging sangat tinggi. Bahkan untuk bisa muncul di halaman pertama Google saja, kita harus memahami SEO, riset kata kunci, kualitas konten, kecepatan loading website, hingga user experience secara keseluruhan.

Tak hanya itu, minat baca masyarakat Indonesia yang tergolong rendah juga menjadi tantangan tersendiri. Apalagi kini, sumber informasi makin beragam. Orang bisa memilih menonton video di YouTube, menelusuri TikTok, mendengarkan podcast, atau bahkan bertanya langsung ke AI seperti ChatGPT.

Jadi wajar kalau saya akhirnya tidak lagi menjadikan blog sebagai sumber utama penghasilan.

Blog: Tempat Menulis dan Meditasi

Saat ini, blog bagi saya lebih seperti tempat meditasi—media untuk menuangkan pikiran, menulis sesuatu yang saya suka, dan tetap berbagi informasi yang mungkin berguna bagi orang lain.

Tidak ada iklan, tidak ada target trafik, tidak ada tekanan.

Dan menariknya, justru di saat saya sudah tidak terlalu fokus pada angka dan monetisasi, blog ini terasa jauh lebih menyenangkan untuk dikelola. Saya menulis karena ingin, bukan karena harus.

Tapi tentu saja, saya tidak berhenti begitu saja. Saya tetap butuh penghasilan. Dan dari situlah saya mulai mencari alternatif lain untuk menghasilkan uang secara online—yang akhirnya membawa saya ke dua bidang berikut ini: microstock dan YouTube.

Microstock: Menjual Karya Digital Secara Global

Microstock mungkin masih asing di telinga sebagian besar orang, terutama di Indonesia. Tapi di luar negeri, ini sudah menjadi industri yang sangat besar. Intinya, microstock adalah platform tempat kita bisa menjual foto, video, ilustrasi, dan konten digital lainnya ke seluruh dunia.

Platform populer seperti Shutterstock, Adobe Stock, dan Pond5 menjadi pasar utama untuk para kreator yang ingin menjual hasil karyanya secara global.

Awal Mula Tertarik di Dunia Microstock

Ketertarikan saya pada microstock bermula dari hobi memotret. Namun, seiring waktu saya menyadari bahwa menjual foto di microstock kini tidak lagi semudah dulu. Banyak foto bisa digantikan oleh AI, dan persaingan menjadi sangat ketat.

Maka dari itu, saya mulai fokus ke footage—video pendek yang biasanya digunakan untuk kebutuhan iklan, presentasi, dokumenter, dan lain-lain.

Kenapa footage?

Karena untuk saat ini, footage masih sulit ditiru oleh AI. Terutama footage editorial dan video dengan elemen lokal khas Indonesia. Misalnya, video pasar tradisional, kegiatan adat, atau kehidupan desa. Hal-hal seperti ini sangat diminati pasar luar negeri, tapi sulit dibuat secara artifisial.

Peralatan yang Saya Gunakan

Awalnya saya menggunakan smartphone. Tapi setelah melihat keterbatasannya, saya memutuskan berinvestasi membeli kamera mirrorless: Panasonic Lumix G85.

Kamera ini terkenal punya kualitas video yang sangat baik untuk kelas harganya. Dengan sensor Micro Four Thirds beresolusi 16 megapiksel, Lumix G85 mampu merekam video 4K yang sangat cocok untuk kebutuhan footage microstock.

Saya tahu, modal awal untuk terjun ke dunia footage ini memang cukup besar. Tapi saya memandangnya sebagai investasi jangka panjang. Karena kalau sudah terbiasa, kita bisa menghasilkan ratusan bahkan ribuan footage yang bisa dijual berulang kali, selamanya.

YouTube: Raja dari Semua Platform Konten

Kalau kamu tanya, dari semua platform yang ada, mana yang paling saya rekomendasikan? Jawabannya adalah: YouTube.

Kenapa?

Karena YouTube adalah platform yang menilai konten dengan sangat serius. Monetisasi di YouTube memang tidak mudah, tapi begitu kamu berhasil, potensi pendapatannya bisa sangat besar.

Pengalaman Saya Membangun Kanal YouTube

Saat ini, saya memiliki tiga channel YouTube. Dua di antaranya sudah memiliki lebih dari 1.000 subscriber. Tapi saya hanya fokus pada satu channel utama, karena saya mengunggah video setiap hari pukul 6 sore. Itu membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit.

Channel ini bukan sekadar untuk berbagi. Tapi juga jadi media utama saya untuk membangun audiens, memperkenalkan karya, dan—tentu saja—menghasilkan penghasilan.

Channel YouTube saya bernama Jejolok.com, sama seperti blog ini. Mungkin kamu datang ke blog ini karena pernah menonton salah satu video saya. Atau sebaliknya, menemukan channel saya setelah membaca tulisan ini.

Yang jelas, YouTube bagi saya adalah fondasi dari semua kegiatan digital yang saya lakukan saat ini.

TikTok dan Facebook Pro: Platform Pendukung, Bukan Utama

Saya tidak mengatakan TikTok dan Facebook Pro itu buruk. Justru sebaliknya—dua platform ini sangat bagus untuk mempromosikan sesuatu. Tapi dari sisi penghargaan terhadap konten, mereka masih belum setara dengan YouTube.

Misalnya, di YouTube, kamu bisa mendapatkan penghasilan yang jelas dari AdSense, kemitraan, hingga program afiliasi. Sementara di TikTok dan Facebook Pro, penghasilannya lebih kecil dan tergantung pada viralitas.

Jadi menurut saya, TikTok dan Facebook cocok sebagai alat bantu untuk membangun awareness. Tapi kalau kamu ingin hidup dari konten, YouTube tetap harus jadi fokus utama.

Langkah Berikutnya: Konsisten dan Fokus pada Dua Hal

Ke depannya, saya berencana untuk mengaktifkan kembali salah satu channel YouTube saya yang sudah vakum. Di sana saya akan membahas tentang microstock, proses kreatif, dan juga beberapa pemikiran pribadi seputar dunia digital.

Sementara itu, saya akan tetap mengunggah satu video per hari di channel utama dan terus memperluas portofolio footage saya di platform microstock.

Dengan begitu, saya bisa mengandalkan dua sumber penghasilan utama yang saya bangun sendiri: YouTube dan microstock.

Apakah ini mudah? Tidak.

Apakah ini layak dicoba? Tergantung kamu.

Penutup: Cintai Pekerjaanmu, Maka Kamu Bisa Bertahan

Akhir kata, saya ingin menyampaikan satu hal penting.

Kalau kamu tidak mencintai pekerjaanmu, kamu tidak akan tahan menjalaninya dalam jangka panjang. Dan dalam dunia digital yang sangat kompetitif ini, ketekunan dan konsistensi adalah kunci utama.

Pilihlah pekerjaan yang kamu sukai, lalu bangun kanal YouTube dari hal tersebut. Dengan begitu, kamu bisa tetap konsisten, meski hasilnya belum langsung terlihat.

Saya sendiri sudah melewati banyak fase—dari menulis blog tanpa iklan, memotret dan menjual footage, hingga membangun channel YouTube dari nol. Semua itu tidak mudah, tapi karena saya mencintainya, saya bisa terus bertahan.

Jadi semoga tulisan ini bisa memberikan gambaran nyata bagi kamu yang ingin memulai perjalanan digitalmu sendiri.

Semoga bermanfaat.


Posting Komentar